Mengenal Sang Fenomenal, Habiburrahman el Shirazy  

Posted by Unknown in , ,

Itulah sepenggal kata yang saya kutip dari sebuah buku biografi “The Inspiring Life Of Habiburrahman El-Shirazy” karya Ahmad Mujib El-Shirazy. Buku ini memberikan kesempatan kepada pembaca untuk mengetahui sisi lain keseharian Habiburrahman el-Shirazy. Mengenai masa-masa terberatnya, kebiasaan-kebiasaannya dari sejak kecil, juga pola asuh orang tuanya.
Pertama kali saya berniat untuk membeli Novel terbaru karya Kang Abik, “Bumi Cinta” yang konon sama halnya dengan novel-novel sebelumnya sebagai Novel Penggugah Jiwa. Namun, entah mengapa saya secara tak sengaja menemukan buku biografi tentang Kang Abik ketika itu. Padahal sebelumnya saya sudah menenteng Novel yang hendak saya beli, novel terbarunya “Bumi Cinta”. Betapa keinginan untuk membeli kedua buku ini merasuki hati saya seketika. Namun, setelah mengecek kondisi dompet yang ternyata tidak mencukupi, sejenak saya membanding-bandingkan mana yang terlebih dahulu saya utamakan. Novel atau biografi Kang Abik? Benar-benar membingungkan. Keduanya sama-sama berkualitas. Pada akhirnya, saya memilih untuk membeli buku Biografinya terlebih dahulu. Mengingat perkataan seorang teman," bahwa jikalau kita ingin meniru seorang tokoh, kenalilah ia lebih dekat bukan karena karyanya, namun karena perjalanan hidupnya yang merupakan jiwa dari sebuah karya itu sendiri. "

Terbesit dalam benak saya. Saya ingin menjadi penulis. Maka penulis pulalah yang harus saya tiru.
Tetapi yang perlu saya tiru bukanlah karya-karya penulis, karena itu akan membatasi ide untuk berkreasi. Namun ialah sebagai pembanding tatkala karya itu telah tercipta. Karena saya pastinya memiliki ciri dan karakter dalam berbuat, pastinya saya harus menyajikan karya baru yang lebih berkualitas khususnya dalam menulis. Saya harus meniru cara hidupnya yang penuh inspirasi. Bukanlah karya yang harus ditiru karena ia merupakan luapan dari pada jiwa si empunya karya. Maka jalan hidup serta masa-masa menghasilkan karya itulah yang semestinya saya tiru.

Setelah membaca buku ini, Saya mulai mengetahui betapa faktor keluarga atau keturunan bukanlah satu-satunya penyebab seseorang menjadi apa yang diharapkan sebagai mana mestinya. Seperti orang-tua yang merupakan seorang penulis, pastinya melahirkan anak-anak yang penulis. Kakek-nenek pengusaha, belum tentu cucu-cucunya akan memiliki jiwa pengusaha sebagaimana dirinya,dll. Begitu juga Kang Abik dalam biografinya, bahwa ia tidak dilahirkan dari keluarga yang memiliki garis keturunan seorang penulis atau sastrawan. Namun, jauh dari pada itu, bahwa kedua orang tuanya adalah petani yang kesehariannya hanya dihabiskan di sawah juga ladang milik mereka. Masa kecil Kang Abik bukanlah masa kecil yang dilingkupi oleh kekayaan dan kemudahan. Bahkan kondisi lingkungan masyarakatnya pun miskin harapan. Mengingat itu saya pun seakan dinasehati agar tidak berkecil hati dalam berbuat. Karena factor keluarga terkadang menjadi sandaran bagi mereka yang hanya mengandalkan kedua-orang tua saja.

Dalam biografinya ini, Ahmad Mujib telah memberikan pandangan sekaligus pengalaman panjangnya bersama tokoh yang diceritakannya yang tak lain adalah abang kandungnya sendiri. Sudah barang tentu apa yang diceritakannya bukanlah omong kosong belaka, karena ia secara langsung merasakan juga mengalami hal yang sama apa yang telah dialami oleh kakak kandung juga dirasakannya semasa kecil. Sejak kecil Kang Abik sudah tampak memiliki jiwa keingintahuan yang tinggi. Itu dijelaskan dalam kisahnya bahwa suatu ketika dengan kepolosannya ia bertanya kepada paman nya, tetangga belakang rumah. “Mengapa rel kereta api itu panjang sekali, keras lagi. Pohonnya tumbuh dimana? Tanyanya lugu. Tentu saja pamannya itu tertawa, tapi tidak ingin mengecewakan Kang Abik dan tak mau ambil pusing. Pamannya menjawab sekenanya bahwa “ besinya rel kereta api tumbuhnya di Arab, jauh”. Seketika ia berniat untuk pergi jauh ke negeri peradaban sejak itu. Begitu pula dengan kesehariannya yang sudah ia rancang dalam buku diary juga dengan jadwal kegiatan harian yang ditempel di lemari dalam kamar. Sudah menunjukkan bahwa ia adalah anak yang tertib dan teratur walaupun lingkungan amatlah jauh daripada itu, seakan ia mampu memilah energi positif dan negatif dalam dirinya.
Perpindahan dari pesantren, ke Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) menjadi titik perpindahan yang teramat fundamental dalam hidup Kang Abik. Ia seperti memiliki lompatan berpikir yang teramat jauh dari sebelum-sebelumnya. Hasrat untuk ikut andil menyalakan kembali cahaya peradaban islam berkobar dalam hatinya. Pada saat itu pula, begitu bulat tekadnya mencicipi ilmu pengetahuan di Universitas Islam paling terkemuka di dunia, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Lagi-lagi saya mendapati bahwa proses amatlah dibutuhkan dalam segala hal. Kesungguhan juga kekonsistenan dalam berbuat amatlah diperlukan. Terlebih dalam meraih apa yang telah dicitakan. Begitu pula Ahmad Fuadi dengan Novel “Negeri 5 Menara”nya, juga Akbar Zainuddin dengan buku motivasi“Man Jadda Wajada”Nya, Kang Abik menjadikan jargon “Man Jadda Wajada” sebagai motivasi dalam hidup. Semenjak ia kecil hingga kuliah ia selalu menanamkan `mantra’ ini dalam lubuk hatinya agar semangat tetap terjaga.

Bukanlah Ayat-Ayat Cinta sebagai karyanya yang pertama, sebagai mana komentar banyak sastrawan yang sebelumnya yang menyatakan bahwa Kang Abik adalah penulis kawakan yang “ujug-ujug” fenomenal tanpa melalui proses. Justru ia telah melahirkan karya-karya yang cukup membuat jatuh hati para penggemarnya sebelum lahirnya AAC, yakni dengan “Pudarnya Pesona Cleopatra”, Di Atas Sajadah Cinta. Dan kisah-kisah pendek lainnya. Hanya saja yang lebih banyak laris dipasaran terlebih dahulu adalah AAC. Dikisahkan bahwa proses penulisannya ialah tatkala ia sedang mengalami kecelakaan dan mengakibatkan kakinya patah,lantas tidak mampu berbuat apa-apa, begitu banyaknya cibiran tetangga yang meremehkan kemampuannya sebagai Mahasiswa Kairo, itulah yangmenguatkannya untuk berkarya dan akhirnya menciptakan karya fenomenal AAC dalam kondisi terpuruk ketika itu. Ia meyakini ayat Allah yang mengatakan “Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan jalan keluar dan memberikan kepadanya rizki yang tak disangka-sangka” ayat ini besar-besar dipajangkan diruang kamarnya ketika ia sakit, sebagai motivasinya untuk berbuat lebih.

Buku biografi karya Ahmad Mujib tersebut juga dilengkapi jejak-jejak kenangan bersama Habiburrahman el Shirazy dalam foto seperti masa kanak-kanak Kang Abik bersama ibu dan adiknya, ketika menjadi santri di MAPK Solo, menjelang keberangkatan ke Mesir, bertemu BJ Habibie di Jerman, di tanah suci, pergelaran seni di Kairo (Mesir) maupun ketika bermain peran di film Ketika Cinta Bertasbih.

Mungkin inilah yang patut saya, dan Anda teladani, dari sosok Habiburrahman El-Shirazy Sang Fenomenal. Bahwa dalam keadaan sesulit apapun, sebenarnya itulah pembuktian bahwa kecintaan Allah amatlah dekat. Terlebih pada masa-masa sulit yang hendaknya kita manfaatkan sebaik mungkin untuk lebih dekat kepada-Nya. Dan bukan sebaliknya malah menyalahi Tuhan dengan sumpah serapah yang justru memperburuk citra diri dihadapan-Nya. Bukan Ayat-Ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih-nya yang menarik, namun jalan panjang menuju karya-karya itu yang patut diteladani. Ketenangan dan kontemplasi menjaga dirinya dari sikap implusif. Daya tahannya atas" kegagalan-kegagalan" membuatnya semakin matang dalam menyikapi kesuksesan. Hambatan dan beban hidup sejak masih kecil hingga dewasa terbukti memberikan buah yang manis.
Sungguh, buku yang menginspirasi. Cocok bagi para penulis pemula yang ingin merasakan lebih dekat "atmosfer cinta" yang diciptakan Kang Abik dalam setiap karyanya.
Judul: The Inspiring Life of Habiburrahman el Shirazy, Biografi
Penulis: Ahmad Mujib el Shirazy
Penerbit: PT. Balai Pustaka (Persero)
Tahun: September 2009
Tebal: 270 hal
Harga: Rp.51.000

This entry was posted on Rabu, 16 Juni 2010 at 01.23 and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar